Terkadang saat orang memberi saran tentang apa saja yang harus dilakukan untuk berhasil, isi sarannya di dasarkan pada level-nya dia (yang menyampaikan).
Seorang ahli bisa jadi memberi masukan harus melakukan ini dan itu, yang memang sehari-hari dia lakukan saat ini, saat dia sudah menjadi ahli.
Saat saran itu diterima dan ditelan mentah-mentah oleh orang yang baru belajar, dengan berbagai sumber daya terbatas, tak jarang justru bikin sang penerima saran gak segera memulai aksi secara kongkret dikarenakan di kepalanya sudah banyak syarat-syarat hasil saran sang ahli.
Padahal, saat baru belajar sesuatu, ia perlu segera menuntaskan satu atau dua pekerjaan/proyek secara nyata. Meski banyak kekurangan (namanya juga pemula), tapi pekerjaan tuntas itu bisa segera dievaluasi untuk kemudian bisa mendapat banyak feedback nyata, bukan angan-angan.
Dan feedback nyata itu lebih berguna untuk perbaikan, daripada berusaha berangan-angan berbagai cara untuk bisa benar serta sempurna dengan ‘sekali tembak’.
Hal ini sering dialami saat ada orang mau belajar, lalu mencari Mentor. Bukannya bertumbuh, saran-saran mentor malah bikin dia mentok gak kemana-mana kerena belum-belum dia tertuntut oleh gambaran sempurna hasil masukan Mentor yang (seakan) harus dipenuhi.
Karenanya, seni menjadi Mentor itu bukan sekedar bisa ngasih saran berdasar pengalaman Sang Mentor per hari ini.
Menjadi mentor yang baik adalah tentang bisa mengukur, saran dan masukan mana yang pas untuk orang lain di level orang tersebut, sehingga bisa bertahap naik level berikutnya.
Ditulis oleh:
Surya Kresnanda
@suryakresnanda
0811 2244 111