SAAT KEDISIPLINAN DAN KUALITAS MENGALAHKAN JUMLAH YANG BANYAK


Perang saudara antara Pompeius mewakili Republik Romawi melawan Julius Caesar yang saat itu melakukan pemberontakan dan mengambil alih paksa pemerintahan, menunjukkan betapa manusia sering di butakan oleh ‘jumlah’.

Pompeius dan Caesar, keduanya dikenal sebagai jenius perang Romawi. Sepanjang sejarah, kedua imperator ini terbukti sebagai komandan penakluk, memperluas wilayah romawi dengan kemenangan demi kemenangan. Dan di perang Pharsalus, keduanya harus berhadapan dalam tensi tinggi mempertaruhkan masa depan pemerintahan imperium Romawi.

Diceritakan oleh Robert Harris dalam Novel Biografi Cicero buku ketiga, Pompeius membawa tentara dengan jumlah kavaleri 7 banding 1. Semua pihak sudah meramalkan kemenangan, bahkan anggota-anggota senat telah mengangankan apa yang akan mereka lakukan pasca kemenangan perang, siapa mengambil jabatan apa, dll.

Di tengah sadarnya Caesar akan kelemahan jumlah kavaleri, dengan cerdik ia menempatkan 2000 infanteri di belakang kavaleri-kavaleri itu, dalam posisi sulit dilihat.

Ketika kavaleri Pompeius yang dipimpin Labienus ‘mengalahkan’ kavaleri Caesar, lalu mengejarnya, tanpa sadar mendapat serangan infanteri. Hal ini membuat pasukan Labienus panik berserakan.

Setelah pasukan Labienus kocar-kacir, tentara Ceasar mematahkan para pemanah Pompeius yang sudah tak tertandingi, menghabisi semuanya, sehingga tak ada lagi penyerang jarak jauh tersisa.

Pasukan Pompeius makin kacau, hingga sang Imperator pelindung Republik tak mampu lagi memberi perintah jelas di tengah kepanikan. Ia meninggalkan medan perang dan kembali ke kemah, meninggalkan sisa pasukannya dihabisi Caesar.

Perang Pharsalus yang menjadi penentu lahirnya ke-diktator-an Julius Caesar atas Romawi, memberi gambaran betapa strategi cerdas ditambah kedisiplinan pasukan dilapangan seringkali lebih menentukan kemenangan perang dibandingkan kekuatan jumlah.

Sepanjang pengalaman berorganisasi saya, baik organisasi profit maupun non-profit, kalimat, “Kita kekurangan orang” sering menjadi salah satu alasan tidak selesai sebuah misi atau proyek. Meskipun dalam hati kecil biasanya juga sadar sebenarnya sedikit orang yang ada pun belum benar-benar dioptimalkan.

Mari kita mulai melihat manusia lebih dari sekedar ‘senjata’, benda mati yang butuh jumlah banyak untuk menguatkan daya serang. Manusia adalah ‘Man behind the gun’.

Ia bisa dikembangkan, sehingga kualitas satu orang hebat bisa setara dengan puluhan atau bahkan ratusan pasukan biasa. Dalam menggunakan senjata saja, beda kualitas orang, akan berbeda bagaimana menggunakannya.

Melalui pemimpin yang cerdas dan Visi Besar, orang-orang hebat ini bisa bergerak dalam harmoni, menghasilkan kekuatan berlipat ganda. Inilah kunci bagaimana pasukan kecil bisa memporak-porandakan pasukan besar sekalipun.

Sudahkah kita mewujudkannya?

Ditulis oleh:
Surya Kresnanda
@suryakresnanda
0811 2244 111


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *